Memahami Diri

lya aku tahu, Memahami diri sendiri itu sulit banget! Gimana mau memahami orang lain, lah wong ke diri sendiri aja, kamu masih kesulitan, iya kan? Makanya kita tu ada saja terlibat dalam konfliknya. Baik konflik internal terhadap diri sendiri, maupun eksternal, yang konflik dengan sesama. Ya itu, karena... Ya sebenarnya itu karena kita manusia! Dasar manusia! (wkwwk. Aku juga) Oke, aku jelaskan ya.

Ada manusia yang butuh waktu sebentar, sekitar satu-dua tahun setelah menyadari bahwa: "oh ternyata aku belum memahami diriku sendiri" Tapi ada juga yang butuh waktu seumur hidup untuk melakukannya! Jadi... Bagaimana cara memahami diri? Sebentar. Aku juga sebenarnya masih belajar. Tapi aku bagi ya, semampu yang aku tahu saja. Berdasarkan pengalaman dan hasil membaca juga. Ayo kita mulai dengan cara mengingat-ingat masa kecil kita. Waktu kita belum mengenal kata, tepatnya bayi, mana bisa) Intinya sewaktu bayi, kita sudah mengenal dua bentuk emosi dasar manusia, berupa: Kalau sedih ya nangis. Kalau senang ya ketawa. Apa kita cuma tahunya saja? Sederhananya, iya.

Lalu seiring bertambahnya usia, memasuki usia balita dan mulai mengenal barulah manusia mengidentifikasi berbagai bentuk emosi tambahan dari ssedih, diantaranya: marah, takut, jijik, kecewa, murka, kaget, dll. Kesedihan mulai bercampur dengan beragam emosi diatas, dan diekspresikan dalam banyak bentuk. Selain tangisan. Ada yang teriakan. Ada yang ngambek. Ada yang diam, memendam dan mendendam. Beda-beda ya setiap individu? iya. Cara mengekspresikan emosi ini yang terbawa dan terbiasa seiring mendewasanya manusia. Tapi itu kujelaskan nanti-nanti. Oh iya, tambahan dari emosi senang, diantaranya: Cinta, ketenangan, kekaguman, empati, kasihan, dll.

Tapi, apakah kita pernah belajar membedakan beragam bentuk emosi yang kita miliki? Orangtua yang paham, tentu akan bertanya dan bantu mengatasi, contoh: Ibu: "Kamu kenapa menangis?" Anak: "Aku mau jilbab itu!" Ibu: "Ibu gak mau belikan. Kamu kan anak cowok!" Anak: "tapi aku suka warnanya, pink bunga-bunga!" Ibu: "Gak!" Anak: "Tapi bu. Aku mau. Titik!" Ibu: "Ibu tetap gak akan belikan! Titik!" Anak: "Aku sedih. Aku nangis." Emosinya? sedih. Diekspresikan dengan nangis. Sesederhana sedih saja? tidak!

Sedih berkombinasi dengan marah dan kecewa. Apakah cara mengatasi kemarahan dan kekecewaan hanya dengan si anak diberi waktu meratapi, dan dibiarkan menangis sepuasnya? Tidak! Melainkan: saling menjelaskan. Tentang kenapa ibu melarang,. dan kenapa anak menginginkan. "Saling mengetahui alasan satu sama lain." "Saling mengenal bentuk emosi satu sama lain." Tujuannya: "Saling memahami satu sama lain." Dan terpenting: Saat menjelaskan bentuk emosinya, anak jadi paham, "Oh, aku marah dan kecewanya karena ibu tidak memenuhi keinginanku. Tidak memahami alasanku." Kecewa dan marah yang tidak dipahami dan dimaklumi boleh diekspresikan melalui tangisan ya tidak masalah. Karena yang terpenting adalah memahami dan menerima bahwa ada dua bentuk emosi yang tengah muncul. Bukan sekedar "emosi sedih" yang diekspresikan melalui tangisan, toh kita yang balita itu sudah bukan bayi lagi, yang tahunya kalau nangis berarti sedih.

Seiring bertambahnya usia, emosi manusia semakin berkombinasi. Bukan hanya kombinasi marah dan kecewa. Mulai ditambah ketakutan bercampur jijik, keberanian juga cinta, dan sebagainya, yang cara mengatasinya pun, di setiap kita ya berbeda-beda. Tapi dengan cara: "mengidentifikasi dan tahu bentuk emosi apa yang dirasa" maka jadi tahu tentang "bagaimana cara mengatasinya" menarik kan? iya. Caranya mudah: Sebut saja nama bentuk emosinya, marah ya marah, sedih ya sedih, dan seterusnya! Selesai. Sip! Balik ke sebelum dialog imaji di slide sebelumnya, yakni: Apa sedari kecil kita belajar membedakan beragam bentuk emosi? Tidak semua kita belajar, bukan?

Terbatasnya kosakata yang diajarkan di usia dini, buku yang dibaca, sumber literasi lainnya, membuat kita; manusia, seiring bertambahnya usia bingung membedakan bentuk-bentuk emosi, bingung mengungkapkan "ini namanya emosi apa" yang tengah kita rasakan. Beberapa diantara kita, seiring bertambahnya usia, dikira sedih ya sedih saja, padahal hatinya terluka, karena keinginannya tidak tercapai alias yang disebut dengan "kecewa". Dikira marah ya marah saja, padahal disebut "kaget", ketika mendapat hinaan dari orang yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Dikira adalah "cinta", padahal hanya sebatas "kagum" saja. Atau "senang" saat bersamanya saja, atau "takut" kehilangan saja, Dikira adalah "cinta", padahal hanya "kasihan" saja, "empati" saja, dan berbagai jenis "emosi" lainnya.

Oh iya! Termasuk ada satu bentuk emosi lagi, yang paling dasar yang dimiliki manusia, selain senang, sedih, marah dan takut yakni: jijik ini paling mudah diidentifikasi. Jijik sejak kita kecil dapat berupa: "Ih ada cacing, badanya licin, aku jijik" Selesai perkara. Jijiknya manusia dewasa pun dapat berupa: "Istri yang dikhianati oleh suaminya." Dia akan otomatis jijik pada suaminya! Tapi sebenarnya tidak jijik saja. Emosinya kompleks dan bercampur aduk diantara marah, cemburu, kecewa, takut, merasa tidak berguna atau bersalah yang penjelasannya "secara umum" hanya satu: "Hatiku hancur." Cara mengatasi hati hancur? Apa iya direkatkan ulang menggunakan lem?

Hati hancur itu kompleks banget. Poinnya adalah: sadar sedang merasakan bentuk emosi apa saja, sadar adalah untuk menerima, yang kalau masih kesulitan menerima, caranya ya diucapkan satu-persatu, dijelaskan pertama-tama pada dirinya sendiri, ya kan tujuannya adalah memahami diri, tentang kenapa hatinya hancur. Menerima bentuk emosi adalah langkah awal untuk mengatasi satu-persatu dari berbagai emosi tersebut. Nah, disini logika manusia dewasa suka ambil alih! (Orang dewasa tu memang suka gitu, nyebelin, sok tahu! Hatinya hancur tapi bilangnya "aku gak papa" Padahal, kalau hancur ya nangis-nangis saja.) Hayo, kenapa logikanya manusia dewasa suka ambil peran tugas perasaan? Kenapa suka sekali membangun alasan-alasan semacam: "Halah gini doang nangis, kamu bisa kok, kuat kok. Udah jangan cengeng, gitu doang. Harus tegar, semua bakalan baik-baik saja." Adalah karena emosi dasar kita berupa takut mengetahui apa yang sebenarnya kita rasakan mencegah kita melalui logika berpikir. Karena kita tidak mempelajari itu semua sedari kecil, tidak belajar untuk mengidentifikasi satu persatu bentuk emosi, tidak belajar agar mampu membedakannya, jadinya ya tidak mampu mengatasinya. Kita manusia dewasa, saking takut-nya, jadi ambil kesimpulan: "I AM OKAY." Hmmm. YOU ARE NOT OKAY, and that's OKAY!

Manusia itu normalnya memiliki beragam bentuk emosi, memahami diri adalah tugas kita agar mampu "menjadi manusia". Meski sebanyak apapun dan sekompleks apapun beragam emosi kita, harus mampu tuk diuraikan, dijabarkan, untuk diatasi semampunya. Karena selama kita manusia tidak mampu melakukannya, selama itu pula kita terjebak dalam persektif yang hitam putih dalam memandang hidup. Berupa dua kutub yang berseberangan, yakni: Seolah hidup menjadi buruk jikalau manusianya tengah "merasa salah." Seolah hidup menjadi baik jikalau manusianya yang tengah "merasa benar." Hidup itu buruk dari perspektif manusia salah. Hidup itu baik dari perspektif manusia benar. Benarkah? Padahal hidup yang manusia jalani itu kompleks! Emosi manusia juga beragam bentuknya! Padahal, hidup itu gak sekedar baik atau buruk saja. Melainkan gabungan dari keduanya. Padahal manusia itu gak sekedar salah atau benarnya, melainkan bergantung dari kebijaksanaannya!

Kebijaksanaan si manusia-nya dapat terwujud dalam kesadaran terkait kemampuan dirinya. Jika dengan cara membuka diri, bercerita pada sesama terkait apa masalah hidupnya, karena memang itu yang dibutuhkannya, maka ya dilakukan. Tapi jika menurut kebijaksanaannya adalah mengatasi masalah seorang diri, karena memang semampu itu, ya silahkan dilakukan. Emosi dasar manusia itu sebenarnya cuma ada lima: Senang, sedih, takut, marah dan jijik. Jika melihat senang sebagai kutub positif, dan sisanya sebagai kutub negatif, ya pantas saja jika ada manusia yang beranggapan bahwa: "hidup adalah penderitaan." Padahal: Seluruh emosi dasar itu sama saja, gunanya sama-sama untuk membantu kita menjadi manusia, yang jika disadari, maka kita mampu menjadi bijaksana, guna menjalani kehidupan yang kompleks, yang gak sekedar baik atau buruk semata.

Seiring bertambahnya usia, ada puluhan jumblah bentuk emosi manusia, kompleks, berkombinasi, dan guna mengatasi masalah emosi pun tidak boleh pakai logika! Jangan pernah rasionalisasikan segala bentuk emosi yang kau miliki. Sesederhana jadilah bayi yang kalau sedih ya nangis saja, kalau senang ya ketawa, dan bentuk emosi lain-lainnya, yang kamu jika setelah tahu apa namanya, ya juga tahu bagaimana cara mengatasinya, yang setiap individu berbeda-besa ya! Aku misalnya, mengekspresikan bentuk emosi jijikku dengan: "ew jijik ada cacing aku gak mau lihat." Selesai. Bukan justru "ah cacing doang, harus berani" Padahal emosi dasarnya yang paling jujur adalah jijik, geli sendiri melihat cacing. Tapi kalau menuruti logika, emosi jujurnya ditolak. Harusnya: Terima keberadaan emosi manusia, dan terima kenyataan jujurnya. untuk tahu cara mengatasinya.

Terakhir, yang umumnya manusia dewasa suka sok mampu! Padahal nggak pernah belajar sejak kecilnya. Adalah: kompleksitas emosi. Stress, tertekan, frustasi, merana, menderita, adalah gaya hidup manusia moderen sekarang alias klean semua bangsat! Sadboi dan sadgurll sok-sok edgy yang meromantisasi depresi. Kenapa sih? Semakin manusia mendewasa, bentuk emosi kita memang kompleks banget, dan seiring bertambahnya pengalaman hidup, karena kita memang tidak belajar mengidentifikasi bentuk emosi sedari kecil, maka bingunglah kita, terheran-heran ini apa, kenapa, dan harus bagaimana. Yap! Tidak mampu mengetahui apa saja bentuknya, tisak tahu harus bagimana mengatasi itu semua! Saranku hanya satu: Kamu butuh bantuan.

Kamu butuh bantuan! Ada ahli yang disebut psikolog yang bisa membantu manusia agar ia mampu memahami apa yang terjadi pada dirinya. Maka: Temui dan silahkan berkonsultasi. Aku ini tidak memahami manusia, aku hanya memahami diriku sendiri. Aku buat tulisan ini saja, murni berdasarkan pengalamanku, juga ya hasil dari banyak baca. Yap, aku suka sekali mengedukasi diri. Meski ya, mungkin masih banyak kelirunya. Masih banyak sok tahunya! Sekaligus juga tidak tahu bagimana cara bantu sesama, apalagi bantu beri jawaban kalian yang curhat nyasoal masalah hidupmu yang aduhhhhh kompleks banget itu. Tapi meskipun aku kadang tidak tahu, aku bisa bantu dengan "ADA".

Kalau kamu punya masalah, ya cerita saja, aku bisa saja kadang tidak tahu harus bantu apa, tapi aku mau kamu tahu kamu tidak menghadapi masalahmu sendirian. Bentuk emosiku ini kusebut “bahagia”. Bahagia karena jadi ada penjelasannya.

Siapa ya awalnya? Hmmm. Aku pura-pura tidak ingat saja, siapanya. Sampai akhirnya aku sadar bahwa ternyata aku bahagia ketika ada orang yang mempercayakan cerita hidupnya padaku. Rasanya tu kayak: "Yaampun, ternyata kehadiranku tu ada gunanya juga ya buat dia..." juga "dia nyaman toh sama aku, sampai-sampai bersedia mempercayakan cerita hidupnya, ahhh syukurlah, aku harus bisa jaga kepercayaan ini dengan tidak emberan." sampai "kedepannya aku bakalan jadi pendengar yang baik deh untuk siapapun, menyimak cerita hidup siapapun, dan semoga bisa bantu melegakan, jika memang tidak bisa bantu apa-apa." Yap! Aku tu ternyata- ketika orang lain merasa nyaman padaku- merasa aman tuk membagi cerita hidupnya padaku- akunya jadi bahagia. Jadi, aku bahagia karena "dipercaya".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentangku

KENAPA DIA BISA SUKA?

Sedikit Nasehatku Untuk Kamu Yang Gagal Move-On